Malam di Desa
Malam itu begitu gelap dan sunyi. Di sebuah desa pelosok pegunungan, televisi adalah barang langka dan hiburan utama bagi masyarakat adalah "layar tancep." Sejenis proyektor sederhana yang memancarkan film-film lama di acara-acara hajatan. Saya masih kecil, belum masuk SD, dan momen ini selalu terpatri dalam ingatan saya.
Ayah menyunggi saya di pundaknya, sebuah posisi yang memungkinkan saya melihat dunia dari sudut pandang yang lebih tinggi. Saya memegang erat rambutnya, merasakan keamanan yang luar biasa dalam genggaman kecil saya. Bersama ibu, kami menuju tempat layar tancep yang malam itu dipasang di sebuah lapangan desa. Kegelapan malam hanya diterangi oleh cahaya bintang dan sesekali lampu senter.
Menonton di Tengah Keramaian
Di tengah kerumunan orang-orang desa, kami menemukan tempat duduk di antara penonton lain. Suara tawa, percakapan, dan kegembiraan meresapi udara malam. Film yang diputar tidak begitu penting bagi saya, yang lebih menarik adalah kebersamaan dengan keluarga dan suasana riuh rendah yang mengelilingi kami.
Sebagai anak kecil, saya terpesona oleh gambar-gambar yang bergerak di layar, meskipun tidak sepenuhnya memahami ceritanya. Saya merasa nyaman duduk di pundak ayah, melindungi saya dari dinginnya malam.
Perjalanan Pulang
Malam semakin larut dan film pun selesai. Kami bersiap untuk pulang. Ayah mengangkat saya kembali ke pundaknya, sementara ibu berjalan di depan, mengarahkan jalan dengan langkah pasti. Jalan setapak yang berbatu-batu dan gelap itu menjadi tantangan tersendiri. Hanya cahaya senter ayah yang menerangi jalan, memberikan rasa aman di tengah kegelapan.
Kami melewati penembahan, sebuah kuburan yang dikeramatkan, dikenal dengan sebutan Penembahan Serut. Pohon beringin putih berdiri megah di tengah-tengahnya, memberikan aura mistis yang sulit dijelaskan. Ayah saya, dengan keberanian yang saya kagumi, menyorotkan cahaya senter ke arah penembahan.
Sosok di Tengah Kegelapan
Apa yang kami lihat di sana, hingga hari ini masih terpatri jelas dalam ingatan saya. Di tengah penembahan, seekor kijang berdiri diam, matanya menatap balik ke arah kami. Bulu cokelatnya tampak bersinar di bawah cahaya senter. Saya tidak merasa takut, hanya terpesona oleh keindahan hewan itu. Namun, sesuatu yang aneh terjadi.
Ayah saya menyorotkan senter berulang kali, dan setiap kali cahaya kembali ke kijang, tampak asap hitam mengepul dari kepalanya. Asap itu tidak menyebar seperti asap biasa, melainkan berkumpul dan berubah menjadi sosok manusia tinggi besar. Sosok itu melayang, tidak menempel pada tanah, dan wajahnya tidak bisa terlihat jelas karena terserap oleh cahaya senter.
Keberanian Ayah
Sosok hitam itu hilang tanpa jejak, seolah-olah tersedot ke dalam kegelapan malam. Ayah tetap tenang, melanjutkan perjalanan tanpa sedikit pun rasa takut yang terlihat. Saya, di pundaknya, mulai merasa sedikit cemas namun kehadiran ayah memberikan rasa aman yang tak tergantikan.
Kami tiba di rumah dengan selamat. Ibu sudah menunggu di depan pintu, terlihat sedikit khawatir namun lega melihat kami kembali dengan selamat. Ayah menurunkan saya dari pundaknya, mengantarkan saya ke kamar dan menidurkan saya dengan lembut.
Kenangan yang Abadi
Cerita ini mungkin terdengar tidak logis, namun bagi saya ini adalah bagian dari masa kecil yang penuh dengan keajaiban dan misteri. Kenangan akan malam itu selalu saya bawa, bukan hanya sebagai kisah seram tetapi juga sebagai simbol keberanian dan cinta keluarga.
Masa kecil saya, di tengah damainya desa, bersama kedua orang tua yang selalu melindungi dan menyayangi saya, adalah harta yang tak ternilai. Menulis cerita ini adalah cara saya mengenang masa lalu, agar suatu hari nanti, ketika saya membaca kembali, saya bisa merasakan kehangatan dan keajaiban masa kecil saya sekali lagi.
No comments